Masjid Muhammad Cheng Ho Mengabadikan Syiar Islam ala Tionghoa

Selasa, 24 Agustus 2010

by Agung Heru Setiawan


Sebuah masjid unik khas Tionghoa berdiri di Surabaya. Berusia lima tahun, makin banyak kiprah yang diberikan rumah ibadah ini untuk syiar Islam di Indonesia. Ia sekaligus menjadi bukti bahwa memeluk Islam bagi seorang Tionghoa adalah sesuatu yang lumrah.

Siang itu, Jumat (23/5), cuaca memang sangat panas, seakan membuat warga kota terbesar kedua setelah Jakarta ini enggan beranjak ke luar ruangan. Namun bagi setiap muslim, ada kewajiban di siang itu: melaksanakan shalat Jumat. Beberapa orang tampak melangkahkan kakinya ke masjid, sebagian lagi sudah memadati rumah Allah. Tak terkecuali warga dan karyawan di sekitar Masjid Muhammad Cheng Hoo Indonesia yang terletak di Jalan Gading Surabaya. Nama jalan ini mungkin kurang familiar. Namun untuk mencari lokasi masjid itu tidaklah sulit. Ia berada di belakang komplek TMP Kusuma Bangsa, yang berseberangan dengan lokasi rekreasi Taman Remaja Surabaya.

Sehari sebelumnya, delapan tenda yang dirangkai menjadi satu telah terpasang di halaman masjid. Tenda-tenda itu dipersiapkan untuk menampung jamaah shalat Jumat yang meluber sampai ke halaman, dan biasanya baru dikemasi Jumat petang. Tertutup tenda, masjid unik ini hanya terlihat bagian atasnya, sebuah pagoda berlapis tiga yang biasa terdapat di bagian atas kelenteng, tempat ibadah umat Kong Hu Cu. Namun yang membedakan, di atas pagoda masjid Cheng Hoo ini terpasang lafadz Allah, seperti lazim ditemui di kubah masjid pada umumnya.

Satu per satu jamaah mulai memenuhi ruangan masjid, lalu halaman luar di bawah tenda. Total sekitar 1.500 jamaah. Tak seperti nama dan bentuk masjid yang sangat khas Tiongkok, jamaah di masjid ini ternyata tak semuanya bersuku China. Bahkan jamaah shalat dari suku Jawa tampak mendominasi.

Bulan Mei ini, Masjid Muhammad Cheng Hoo sudah genap berusia lima tahun. Dulu pembangunannya dimulai pada 15 Oktober 2001 dan diresmikan pada 28 Mei 2003. Penggagas pendiriannya adalah HMY Bambang Sujanto, alias Liu Min Yuan. Masjid unik ini berada di bawah pengelolaan Persatuan Iman Tauhid Islam atau Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Korwil Jawa Timur dan Yayasan Haji Muhammad Cheng Hoo Indonesia.

Ihwal penamaan masjd ini, diambil dari seorang laksamana muslim yang turut mensyiarkan Islam di Indonesia sekitar 600 tahun lalu, Muhammad Cheng Hoo. Ia adalah utusan Raja Dinasti Ming yang menjalani kunjungan ke Asia sebagai duta perdamaian. Sebagai seorang bahariawan dan laksamana, Cheng Hoo berhasil mengelilingi dunia selama tujuh kali berturut-turut. Ia menjalin hubungan dagang dengan negara-negara yang ia kunjungi, termasuk dengan Kerajaan Majapahit di Nusantara. Untuk mempererat hubungan dengan kerajaan ini, diberikanlah Putri Campa untuk dipersunting oleh Raja Majapahit. Keturunan Putri Campa pertama adalah Raden Patah, kemudian Sunan Ampel dan Sunan Giri, yang dikenal di pulau Jawa termasuk dalam sembilan sunan atau Walisongo.

Dalam perbincangan dengan al-Mujtama' di kantor takmir, Ahmad Hariyono, seorang ustadz muallaf yang memiliki nama Tiong Hoa Wang Jin Shui, menjelaskan bahwa Cheng Hoo adalah warga Tionghoa bermarga Ma, berasal dari kata Muhammad. "Makanya yayasan ini pun bernama Muhammad Cheng Hoo. Orang tuanya juga tokoh muslim, bahkan seorang haji. Dalam bahasa Tionghoa disebut hacce," ujar pria kelahiran Batu Malang, 5 Januari 1973 ini.

Masjid Muhammad Cheng Hoo Indonesia dinobatkan sebagai masjid pertama di Indonesia yang mempergunakan nama muslim Tionghoa, dengan bangunan khas Tiongkok. "Masjid ini mendapat penghargaan MURI sebagai masjid pertama di dunia yang bernama Cheng Hoo dan sebagai masjid berarsitek khas budaya Tionghoa," terang Hariyono.
Rancangan awal masjid yang menampung sekitar 200 jamaah ini terilhami dari bentuk Masjid Niu Jie di Beijing yang dibangun pada tahun 966 M. Kemudian pengembangan disain arsitekturnya dilakukan oleh Ir Aziz Johan, anggota PITI dari Bojonegoro, dengan didukung oleh beberapa anggota tim teknis.

Biaya awal pembangunan kala itu sebesar 500 juta yang didapatkan dari hasil penjualan Juz Amma dalam tiga bahasa, yakni Arab, Indonesia, dan Inggris. Kemudian sisanya didapatkan dari sumbangsih masyarakat. Sampai selesai, pembangunan masjid ini menelan biaya Rp 3.300.000.000.

Bangunan masjid berdiri di atas lahan seluas 3.070 m2. Ia didominasi warna merah, hijau, dan kuning. Gabungan unsur Tionghoa, Arab, dan Jawa menjadi ciri khas masjid yang berdiri di belakang markas PITI Jawa Timur itu. Namun dari sekian unsur tersebut, budaya Tionghoa terlihat paling mendominasi. Mulai dari pagoda di bagian atas, hingga bangunan utama masjid.

Perpaduan dari berbagai budaya akan terlihat jelas bila diamati secara seksama. Misalnya, selain lafadz Allah di bagian atas, pagoda ini juga dikelilingi lafdzul jalalah dan 20 sifat wajib Allah. Dua jendela bulat di bagian depan, yang pada bangunan klenteng biasanya bergambar naga, di masjid ini berisi kaligrafi basmalah. Sedang unsur budaya lokal, diwakili oleh ukiran di mihrab dan mimbar, serta bedug yang ada di sisi kanan masjid. Di dekat bedug ini, terdapat relief Muhammad Cheng Hoo dan armada kapal yang digunakannya mengarungi Samudera Hindia.

Sejak dibangun, masjid ini memang tidak dikhususkan untuk etnis Tionghoa saja. Motonya adalah di atas dan untuk semua golongan. "Masjid ini untuk semua umat, baik NU, Muhammaddiyah, Tionghoa, dan lainnya. Khatib jumat di masjid ini juga dari berbagai kalangan. Semua umat Islam yang ingin melaksanakan aktifitasnya di sini, silakan," jelas Hariyono.

Fasilitas yang dimiliki Masjid Muhammad Cheng Hoo antara lain Taman Kanak-Kanak (TK), lapangan olah raga, kantor, kelas kursus Bahasa Mandarin, kantin, pengobatan akupuntur, dan jaringan wifi di seluruh lokasi tersebut.
Berbagai kegiatan dilaksanakan di masjid yang kerap dikunjungi tamu dari luar negeri, seperti Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan Inggris ini. Selain shalat rawatib lima waktu, diselenggarakan pengajian rutin setiap Ahad pagi, dzikir dan doa, plus kajian tafsir tiga kali setiap bulan.

Rupanya, paduan budaya dan rumah ibadah yang indah ini punya arti tersendiri bagi muslim Tionghoa. Ia membuktikan bahwa orang China masuk Islam bukanlah hal aneh, karena 600 tahun lalu, terdapat seorang laksamana beragama Islam bernama Muhammad Cheng Hoo. Bahkan ia turut mensyiarkan Islam di Nusantara. Masjid Muhammad Cheng Hoo ingin mengabadikan semangat itu.

"Tiap bulan minimal empat orang keturunan Tionghoa, melakukan pengikraran atau mengucapkan dua kalimah syahadat di masjid ini, sebagai tanda ia masuk Islam," sebut Hariyono bangga.


0 comments:

Posting Komentar