Oleh-Oleh Munas PKS: Terbuka, Pragmatis, atau Konsepsi?

Rabu, 30 Juni 2010

CikarangNews6: Partai ini terus membuat berita. Kali ini membuka wacana baru. PKS menjadi partai terbuka. Menjadi Partai Untuk Semua. Banyak pihak yang menanggapinya dengan skeptis. Menganggap partai ini mulai pragmatis demi meraih kemenangan menjadi 3 besar pada pemilu 2014.


Meskipun demikian banyak yang menanggapi positif. Bahkan bagi orang dalam PKS yang berasal dari Indonesia Timur. Wacana PKS menjadi Partai Terbuka bukan hanya isapan jempol. Bukan pula berarti melunturkan nilai-nilai dasar partai ini. Karena justru inilah salah satu nilai yang ada di dalam partai ini.


Berikut ini adalah kesaksian mereka:

Terius Yigi Balom, 32 tahun, mengenal Partai Keadilan Sejahtera (PKS) pertama kali dari media massa. Putra seorang pendeta itu rajin memantau aksi sosial yang kerap dilakukan kader PKS, seperti penanggulangan bencana alam. Ia pun mulai membandingkan aktivitas PKS itu dengan partai lainnya, baik yang nasionalis maupun yang berasaskan agama. "Mereka memang berperan paling kongkret dibandingkan dengan partai lainnya," begitu kesimpulan Terius, seperti disampaikan kepada Gatra.


Ia menilai PKS konsisten melaksanakan aksi-aksi sosial tanpa tergantung momen politik tertentu, seperti pemilihan kepala daerah (pilkada). "Maka itu saya tertarik," kata Terius. Ia lantas bertekad untuk bergabung dengan PKS. Namun status PKS sebagai partai dakwah dengan asas Islam sempat membuat ia ragu. Terius pun sempat bergabung dengan partai lain yang berasaskan nasionalis. Tapi, tak lama kemudian, ia hengkang dan bergabung dengan PKS.

Terius terkejut ketika diterima dengan tangan terbuka, meski beragama Kristen. "PKS mampu mengejawantahkan prinsip toleransi antarumat beragama, meski konsisten dengan asas Islam dan dakwah," kata pengurus DPD PKS Kabupaten Lanny Jaya, Papua, itu. Ia mengaku tidak ada paksaan untuk pindah agama ataupun sikap curiga dari kader yang muslim.

Setelah beberapa lama bergabung, ia juga mulai terbiasa dengan rutinitas kegiatan di PKS yang bernuansa Islami. Pada saat perayaan Idul Fitri, misalnya, kader-kader non-muslim tanpa canggung ikut membantu merayakan dan saling mengucapkan selamat. Tak hanya ucapan selamat, spanduk pun ia buat untuk ungkapan saling menghormati. Begitu pula ketika kader muslim merayakan Idul Adha, Terius mengaku ikut menyumbang hewan kurban, seperti sapi dan kambing.

Sebaliknya, ketika ada perayaan hari raya kaum Nasrani, kader muslim tidak melarang kaum Nasrani memotong babi. Meski babi haram bagi umat Islam, para kader PKS non-muslim tidak dihalangi untuk menyembelihnya dalam perayaan agama, pesta adat, acara duka, atau acara pemilu untuk disajikan kepada penduduk yang juga beragama Kristen. "Sinyal keterbukaan seperti inilah yang menarik massa non-muslim lebih banyak lagi untuk bergabung dan memilih PKS," tutur Terius.

Hal serupa dialami Maximus Taek, 45 tahun, seorang penganut Katolik Politikus asal Nusa Tenggara Timur itu tadinya adalah kader sebuah partai berhaluan nasionalis. Hanya saja, ia merasa tak sreg berkecimpung di partai
tersebut. "Kepentingan kelompok lebih besar, bahkan mengalahkan AD/ART partai," katanya kepada Gatra. Belum lagi, partai itu sangat bergantung pada satu figur. "Seolah-olah figur itu adalah segalanya," ia menambahkan.

Akhirnya, pada 2008, Maximus bergabung dengan PKS. Salah satu alasan ia memilih PKS: tak ada figur status quo yang mengendalikan partai secara otoriter. Apalagi, kata Maximus, sebagai partai dakwah, PKS selalu mengajak orang lain tanpa memandang latar belakang sosial, politik, dan agama untuk menuju kebaikan. "Dari situ mulai muncul ketertarikan saya," ungkapnya.

***

Sejak 1999, PKS membuka diri bagi masuknya kader-kader non-muslim. Menurut Ketua Majelis Syura PKS, KH Hilmi Aminuddin, keterbukaan itu adalah bagian dari pelaksanaan ajaran Islam. "Menjadi partai terbuka itu bukan taktik dan bukan strategi, melainkan justru muncul dari keimanan atas ajaran Islam," katanya kepada Haris Firdaus dari GATRA.

Menurut Hilmi, Al-Quran memerintahkan umat Islam untuk menerima pluralitas atau kemajemukan. "Allah menciptakan semua secara plural. Tidak ada keseragaman. Yang ada adalah keberagaman," ujarnya. Keberagaman itu mendorong terjadinya dinamika kehidupan. Jika pada tahap awal PKS terkesan eksklusif, menurut Hilmi, karena pada saat itu PKS masih harus membangun identitas dan integritas kadernya.

Masuknya orang-orang non-muslim dalam kepengurusan PKS bermula dari banyaknya orang non-muslim yang datang ke kantor dewan pengurus wilayah PKS di daerah yang mayoritas penduduknya non-muslim. Mereka mengajukan ide mendirikan kepengurusan di level kabupaten dan kota. "Kami bilang, PKS
adalah partai Islam. Tapi mereka tidak mempermasalahkan agama. Yang penting, agendanya sesuai dengan aspirasi mereka," kata Hilmi. Akhirnya kepengurusan daerah dibentuk oleh orang-orang non-muslim secara mandiri dan disahkan.

Sejak itulah PKS menerima kader dari kalangan non-muslim. Hal ini, menurut Hilmi, adalah bagian dari proses penyiapan kader PKS menjadi pemimpin negara. Untuk itu, pertama mereka harus bisa menjadi tokoh Islam, kemudian pemimpin dakwah, lalu menjadi tokoh bangsa, dan akhirnya negarawan.
"Masuknya non-muslim bisa membantu kader-kader PKS yang akan menjadi negarawan untuk bisa berkomunikasi dan bekerja sama dengan banyak kalangan di luar Islam," tutur Hilmi.

Bahkan, dari proses itu, PKS bisa menjalin hubungan dengan partai yang berhaluan non-Islam di negara lain. "Sekarang ini PKS punya hubungan dengan Partai Buruh Australia, Partai Komunis Cina, dan partai-partai di Eropa," katanya. Keterbukaan ini, lanjutnya, tidak akan mengganggu identitas PKS sebagai partai Islam. "Kalau ditanya siapa PKS? Ya, partai Islam," Hilmi menegaskan.

***

Hingga saat ini, PKS memiliki ribuan kader non-muslim. Posisi mereka pun bukan sekadar figuran. Selain ada yang menjadi pengurus aktif di tingkat daerah, kini ada 26 kader non-muslim di PKS yang menjadi anggota DPRD. Menurut Sekjen PKS, Anis Matta, masuknya kader non-muslim sebagai anggota DPRD terjadi sejak 2004. Natalis Kamo dan Jimmi Gerung, misalnya, adalah dua kader pertama non-muslim PKS yang berhasil menjadi anggota DPRD di Papua.

Untuk mengakomodasi keberadaan mereka, dalam musyawarah nasional yang berlangsung Sabtu-Minggu lalu, PKS memutuskan mengubah AD/ART partai dan secara resmi menerima anggota dari kalangan non-muslim. "Faktanya, masuknya anggota non-muslim ini kan mendahului konstitusi," kata Anis Matta kepada GATRA.

Resminya PKS menjadi partai terbuka itu membawa optimisme bagi Terius Yigi Balom dan Maximus Taek. Terius berharap, ada peluang bagi kader non-muslim menjadi pengurus pusat. Maximus juga yakin, dengan keterbukaan ini, PKS akan menjadi partai besar. Anggota DPRD Kabupaten Timor Tengah Utara itu pun yakin, PKS bisa lebih diterima di wilayah Indonesia Timur.

Pengamat politik Bachtiar Effendi menyambut baik penegasan sikap terbuka PKS itu. Strategi itu, kata Bachtiar, seperti mengadopsi nilai kehidupan yang semakin maju. Namun langkah membuka diri ini harus tetap dijalankan dengan baik. "Ideologi dan nilai dasar PKS tidak akan ditinggalkan," katanya kepada Eko Rusdianto dari GATRA.

Ia berharap, PKS tidak menjadi partai pragmatis. "Beberapa kader mulai menjalankan kepentingan pragmatis," ujarnya. Ini akan berbahaya bagi PKS yang selama ini dikenal sebagai partai yang mementingkan pelayanan publik.

Ia pun berharap, PKS tidak kehilangan warna Islam sebagai landasan. "Kader non-Islam nantinya memegang ideologi partai dengan keterbukaan itu, bukan patuh pada nilai keagamaan partai," tuturnya.

Jika itu bisa diwujudkan, Bachtiar yakin, PKS akan menjadi lebih baik. Buktinya, dalam tiga pemilu terakhir, suara PKS menunjukkan grafik naik. Jika awalnya hanya tujuh kursi, pada pemilu berikutnya naik menjadi 45, dan
pemilu terakhir 57 kursi. "Ini cukup baik. Banyak partai yang baik tapi dukungan kurang. Jadi, PKS harus menjaga itu," ujar Bachtiar.

Sumber: GATRA Nomor 34 Beredar Kamis, 24 Juni 2010

0 comments:

Posting Komentar