CikarangNews6: Menolak ditempatkan di rumah sakit mapan dengan gaji besar. Kemampuannya justru semakin terasah jika ia ditugaskan di daerah bencana.
Rambutnya gondrong dan terlihat acak-acakan. Celana yang dipakainya sedikit melebihi lutut. Siapa pun tak menyangka kalau dirinya adalah dokter. Termasuk Kepala Dinas Kesehatan Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). “Anda ini tidak sabar sekali, ya. Kayak Anda dokternya saja!” hardik Sang kepala dinas kesehatan NAD saat itu.
Kejadian ini dialami Arief Rachman tahun 2005 saat ia bertugas sebagai dokter Pegawai Tidak Tetap (PTT) di wilayah NAD. Arief menyambangi kantor Dinas Kesehatan NAD untuk mendapat surat dispensasi PTT ”cara lain”. Karena tidak dilayani, akhirnya ia langsung menghadap kepala dinas. Namun, bukan sikap ramah yang diterima. Ia malah disemprot oleh Sang kepala dinas.
Sebetulnya Arief ditugaskan oleh Departemen Kesehatan RI menjadi dokter PTT di rumah sakit berpredikat teladan di Sampit, Kalimantan Tengah. Rencananya ia ditugaskan di sana selama dua tahun. Namun ia menolaknya. ”Saya tidak cocok di sini. Sistem dan manajemennya sudah berjalan. Saya tidak dibutuhkan di tempat ini,” ujar Arief kepada pemberi tugas kala itu.
Ia pun mengusulkan agar ditempatkan di NAD yang saat itu baru saja luluh lantak diterjang Tsunami. Kata Arief, pemindahan tempat PTT yang diajukan dokter pemohon biasa disebut PTT ”cara lain”. Arief mendapatkan PTT cara lain di NAD melalui kerjasama dengan lembaga nirlaba Medical Emergency Rescue Committee (MER-C).
Kata Arief, jika saat itu dirinya bersedia ditempatkan di Sampit, tiap bulan dia akan mendapat honor Rp 6 juta dari pemerintah. Namun dengan memilih NAD, kocek Arief hanya terisi Rp 3 juta per bulan dari MER-C.
”Saya tidak betah bila harus duduk manis menunggu pasien di RS yang sudah mapan. Aceh bagi saya lebih menarik, karena apa yang selama ini diperoleh di fakultas kedokteran bisa saya uji-cobakan di Aceh. Saya tak hanya sekadar mengobati pasien, tapi juga bisa membangun sistem dan manajemen RS,” papar alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini.
Spesialis Bencana
Arief memang tidak seperti dokter pada umumnya. Ia bahkan tidak memiliki tempat praktek tetap. Ia beralasan tidak tega bila harus menulis tagihan biaya periksa kesehatan kepada Sang pasien. ”Saya sering tergagap ketika pasien bertanya berapa biayanya,” ujarnya.
Itu sebabnya, Arief lebih senang bertugas di daerah bencana atau daerah konflik. Kata Arief, di lokasi bencana dirinya mendapat kenyamanan, dan hubungan antara dirinya dengan pasien bisa terjaga.
Indonesia, kata Arief, adalah negara seribu satu bencana. Sayangnya, tak banyak dokter spesialis untuk daerah bencana. ”Saya berharap mengisi ceruk yang selama ini tak diminati dokter lainnya,” kata ayah satu anak ini.
Menurutnya, di lokasi bencana kemampuannya benar-benar diuji. Di Aceh, ia pernah menangani pasien yang tengah sekarat. Untuk merujuk pasien ke RS yang lengkap peralatannya tidak mungkin karena jalan terputus akibat gempa.
Di lokasi bencana, jelas Arief, dirinya harus mampu berperan menjadi dokter umum, dokter bedah, hingga menjadi dokter spesialis menanggani persalinan. Ketika tidak ada pilihan lagi, Arief dituntut untuk memberikan yang terbaik bagi sang pasien.
Hal berbeda bila praktek di kota. Katanya, dalam keadaan kritis dengan mudah dokter di kota bisa merujuk pasiennya ke RS lain yang lebih lengkap pelayanannya.”Ketika ada pasien yang saya tidak tahu lagi harus diapakan, atau pasien sudah harus ditangani oleh dokter spesialis, dengan mudahnya saya dapat membuat surat rujukan lalu memberitahukan keluarganya. Maka tanggungjawab saya pun selesai,” jelas Arief.
Lintas Batas
Selain Aceh, Arief juga pernah ditugaskan oleh MER-C ke Ambon, Papua, hingga ke Jalur Gaza, Palestina. Untuk penugasan ke Gaza, Arief sudah melakoninya selama dua kali. Termasuk perjalanan armada kebebasan menuju Gaza, Freedom Flotilla, bersama sebelas relawan Indonesia lainnya yang diserang tentara Zionis Israel akhir Mei 2010 lalu.
Meski demikian, Arief mengaku tidak kapok bila ditugaskan kembali ke Gaza. Peristiwa Mavi Marmara, kata Arief, dianggapnya sebagai ujian dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. ”Ini pembuktian seberapa besar cinta kita kepada Gaza. Masak, baru 24 jam saja kita diperlakukan biadab oleh tentara Israel di atas kapal Mavi Marmara, kita langsung kapok. Padahal, masyarakat Gaza sudah 60 tahun diperlakukan lebih dari itu,” katanya menegaskan.
Saat MER-C menugaskan Arief ke Gaza untuk ketiga kalinya, Arief menerima dengan senang hati. Alhamdulillah, pertengahan Juli 2010 lalu, Arief bersama lima relawan MER-C lainnya berhasil masuk ke Gaza untuk melanjutkan misi membangun rumah sakit Indonesia di sana.
Arief bergabung bersama MER-C sejak tahun 1999. Saat itu, ia masih co ass (praktek lapangan calon dokter) di Yogya. Arief merupakan salah seorang pendiri MER-C Cabang Yogyakarta. Di tahun 2002, Arief bersama MER-C Yogya menangani korban bencana banjir di Jawa Tengah sebanyak enam kali.
Arief merampungkan kuliahnya di Fakultas Kedokteran UGM (2003). Selain bertugas di MER-C, lelaki kelahiran Jakarta 16 April 1978 ini juga pernah menjadi dokter jaga di klinik Labschool Jakarta dan di salah satu klinik rekanan Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia.
Beda Penampilan
Arief Rachman merupakan buah hati dari pasangan Achmad Munandar (55) dan Ami Rachmiyati (52). Kedua orangtuanya asli Jakarta. Ayahnya pegawai kantor pos yang kerap dipindahtugaskan ke berbagai daerah. Itu sebabnya, masa kecil hingga remaja Arief dihabiskan di luar Jakarta.
Ilmu-ilmu keislaman diperolehnya dari madrasah saat ia bermukim di Nusa Tenggara Timur (NTT). Selain itu, ia memperolehnya saat kuliah di UGM. Ia sempat merasakan atmosfir sistem tarbiyah di Lembaga Dakwah Kampus (LDK).
Arief juga pernah bergabung di Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala). Ia kerap mendaki gunung berhari-hari dengan teman-temannya. Penampilannya pun tak jauh beda dengan aktivis pencinta alam lainnya, berambut gondrong, berkaos oblong plus bercelana buntung. Bahkan, saat ditugaskan ke Gaza untuk pertama kali, ia masih berambut gondrong. Karenanya, masyarakat Gaza memanggil dirinya ”dokter gondrong”.
Namun, sejak menikah dengan Kuntum Khairatifa (30) pada Desember 2005, Arief memotong rapi rambutnya dan menghindari berpenampilan mewah. ”Kalau saya necis, orang sungkan menyuruh saya mengepel. Padahal di lokasi bencana, apa pun harus bisa saya lakukan, termasuk mengepel lantai,” ujarnya berkelakar.
Arief memang dikenal sederhana. Ia tidak ingin hidupnya hanya digunakan untuk mengejar materi. Dalam setahun, ia selalu meluangkan waktu tiga bulan untuk terjun ke daerah bencana.
Sebagai dokter spesialis bencana, penghasilan Arief memang tidak sebesar dokter–dokter umumnya. Tak heran, pilihannya ini sempat ditentang oleh ibunya. ”Kamu ini kan dokter, kok tidak pernah praktek? Lihat tuh temanmu sudah bawa mobil!” ujar Arief menirukan penuturan ibunya.
Menanggapi sang Ibu, Arief mengatakan, ”sekarang ini kaya-miskin seseorang tidak bisa dihitung dari apa yang kelihatan (materi). Ibu semestinya bangga mempunyai anak yang membantu orang tanpa harus dibayar.”
Syukurlah, kini sang Bunda mulai mengerti dan mendukung jalan mulia yang ditempuh putranya. *
Sumber: Bilal Muhammad, Ibnu Syafaat/Suara Hidayatullah, AGUSTUS 2010
0 comments:
Posting Komentar