CikarangNews6: Saat Ramadhan, semua penghafal al-Qur’an ‘turun gunung’ ke masjid-masjid atau mushollah
Hidayatullah.com—Tahun ini, usia saya sudah hampir 51 tahun. Tidak terasa, saya sudah berada Tanah Haram, sekitar 33 tahun lamanya. Pertama kali menginjakkan kaki di Makkah, tujuan saya ada mengaji. Saya akhirnya kuliah di Umul Qura’ di jurusan Ushuluddin.
Namun karena semenjak kuliah saya sudah berurusan dengan jamaah haji dan umrah, akhirnya lambat laun saya menjadi mutawwif (pembimbing umrah dan haji) dan menghandle jamaah. Kini, saya, istri, anak-anak, dan orangtua, sudah tinggal di sini.
Ramadhan di bumi kelahiran Nabi Muhammad ini sudah saya rasakan lebih dari seperempat abad lamanya. Meski demikian, suasana ibadahnya kayaknya hampir sama saja. Tetap indah dan tak pernah membosankan. Bahkan dari tahun ke tahun, suasana kemudahan semakin banyak.
Suasana orang yang ingin beribadah di Haram hampir sama dengan jamaah Haji. Ini terjadi karena banyak orang melakukan umrah, sebagaimana ada targhib (janji) dari Rasulullah. Akibatnya, jamaah membludak dan hotel ikut jadi mahal. Wajar saja, ini karena permintaan lebih banyak dari persediaan kamar. Banyak orang mampu ingin menikmati suasana indah Ramadhan di Masjidil Haram.
Hanya saja, di bulan Ramadhan, suasanya jauh lebih teratur, sebab manusianya jauh lebih ngerti agama. Agak berbeda sekali dengan musim haji yang boleh dikatakan lebih kacau balau.
Sekedar contoh, di Bulan Ramadhan, tidak ada perempuan berdiri satu saf dengan laki-laki. Sebaliknya di haji itu menjadi pemandangan biasa. Sebab umumnya, kalau haji yang datang banyak orang kampung dan sebagian besar belum pernah kenal teknologi tinggi. Seperti naik lift yang dikhususkan wanita. Selain itu, tingkat bekal ilmu syar'inya belum memadai. Sedang bulan Ramadhaan sebaliknya.
Saat Ramadhan Masjidil Haram jauh lebih bersih, tapi tidak saat di musim haji. Susana seperti ini bukan hanya ada di Masjidil Haram saja, namun hampir terjadi di kota Makkah secara umum.
Selama lebih dari 30 tahun, baru sekali saya Ramadhan di Indonesia. Tapi di Indonesia sangat keterlaluan. Di Jakarta, misalnya, siangnya tidak terlihat suasana shaum Ramadhan sama sekali. Banyak orang makan dan minum minum. Warung juga buka seperti biasa di mana-mana. Pokoknya tidak ada suasana yang mendukung ibadah. Hanya malamnya saja yang kelihatan karena masjid-masjid menyelenggarakan tarawih.
Pernah menjelang buka saya singgah di salah satu mushollah. Mengagetkan, orangnya cuma satu. Dia yang adzan, dia yang iqomah dan dia pula yang menjadi imam. Sungguh memprihatinkan.
Saya sempat mampir ke masjid Ma'had Alhikmah di Jalan Bangka, Kemang. Di situ tarawihnya hampir satu juz. Atau di masjid jamaah Tablig di Hayam Wuruk, Alhamdulillah, imamnya huffaz dan bagus.
Di Indonesia, jika Ramadhan, mall dan TV sangat ramai, masjid malah sepi, apalagi jika menjelangi'tikaf. Di Makkah sebaliknya. Untuk mencari stasiun TV luar harus menggunakan parabola.
“Banjir” Infaq dan al-Qur’an
Ramadhan di Makkah tidak ada dukanya. Hampir semua saya rasakan sebagai suka. Dari semua sisinya, baik urusan dunia dan akhirat.
Ini terjadi karena nuansa Ramadan di Makkah memang sangat kental nuansa ibadahnya. Apalagi kalau berada di sekitar Masjidil Haram. Tak ada yang kita saksikan kecuali semua orang berlomba-lomba beribadah dan bersedekah.
Selama Ramadhan, tak akan kita saksikan satu orangpun tidak berpuasa, layaknya di Indonesia. Selain itu, Ramadhan di sini, ibarat bulan infak. Hampir semua orang kita saksikan begitu semangat berinfak.
Setiap hari, semua orang –tak peduli orang Asli Arab atau pendatang-- membagi-bagi uang, makanan untuk iftar (buka puasa) dan lain-lain.
Seandainya ada orang datang ke Tanah Haram di Bulan Ramadhan tanpa uang sepeser pun, dipastikan ia tidak akan kelaparan dan pasti kenyang. Orang membagi iftar ada di mana-mana. Termasuk bekal sahur. Ibaratnya, hanya dengan bekal badan saja, orang sudah dijamin kenyang. Bahkan kalau berani, malah bisa pulang bisa membawa 1 kwintal kurma terbagus.
Sekedar catatan, di bulan Ramadhan, semua kurma yang terbaik di Saudi akan dikeluarkan. Dari yang harganya cuma 5 real (sekitarRp. 45 ribu) per kilo sampai yang harga 100 real (hampir 300 ribu) per kilo.
Keindahan yang tidak ada di tempat lain adalah semangat beribadah di masjid-masjid, khususnya di Masjidil Haram. Meski demikian, hampir di semua masjid, walau masjid kecil sekalipun, semua penuh orang untuk dzikir, baca al-Quran atau shalat.
Satu lagi yang juga tak kalah indah di Makkah, para huffaz (penghafal al-Quran), betul-betul memanfaatkan Ramadhan untuk memuraja'ah (melancarkan) hafalannya.
Hampir semua imam tarawih di masjid kecil sekalipun, termasuk para imam baru, sengaja diterjunkan oleh guru-guru mereka untuk memurajaah hafalannya. Ibaratnya, mereka ‘turun-gunung’ ke masjid-masjid kecil atau mushollah.
Huffaz yang saya maksud di sini adalah anak-anak yang baru belasan tahun. Usianya setingkat SMP atau SMU. Meski demikian, mereka adalah anak-anak yang sudah khatam hafalannya. Subhanallah, rata-rata di semua masjid, anak-anak muda yang ditugaskan menjadi imam tarawih itu memiliki suara yang luar biasa bagus, tartil dan lancar hafalannya. Sungguh luar biasa indah!
Pemandangan ini, bukan sebuah pemandangan aneh. Bahkan pernah, di sebuah masjid kecil di Tanah Haram, yang menjadi imam anak berusia 6 tahun. Tapi jangan keliru, ia memiliki suara luar biasa bagus. Memang belum baligh, namun mereka sudah mumayyiz (yang telah mampu membedakan mana yang baik dan yang buruk).
Sementara itu, di Masjidil Haram, banyak orang menanti para huffaz, yang umumnya imam senior menjadi imam secara bergantian, sampai selesai satu juz.
Meski di Masjidil Haram shalatnya tarawihnya 23 rakaat (20+3), rata-rata jamaah menikmati dan sangat merindukan. Bacaan 1 juz yang membutuhkan waktu sekitar dua jam tak membuat orang bosan atau beranjak.
Ini karena orang begitu menikmati beribadah. Bacaan yang indah dan mengasyikkan ikut membawa suasana jamaah bersemangat. Tak sedikit jamaah menangis karena mereka menghayati makna bacaan imam. Ada juga yang ikut menangis karena di samping kiri dan kanan mereka sudah menangis,.
Dengan kata lain, bulan Ramadhan di Tanah Haram itu seperti bulan al-Quran. Bulan Ramadhan, adalah hari-harinya demo keindahan al-Quran.
[Diceritakan oleh Amiruddin Abdullah Rasul dari Tanah Haram/hidayatullah.com]
0 comments:
Posting Komentar