Indahnya I'tikaf di Mekar Indah

Senin, 30 Agustus 2010


CikarangNews6: Ramadhan sebentar lagi meninggalkan kita, saat ini telah menginjak masa-masa akhir di pekan ketiga..artinya kita akan segera memasuki waktu ber- I’tikaf.
Sebagaimana yang dicontohkan Rosulullah saw, beliau lebih menghidupkan malam dan mengencangkan ikat pinggang di 10 hari terakhir ramadhan.


Sebagian orang terharu dan harap-harap cemas, sebagian bahagia, sebagian lagi cuek…tergantung, seberapa tebal tingkatan keimanan mereka masing-masing.


Tempat (masjid) untuk I’tikaf yang nyaman biasanya menjadi prioritas untuk dipilih, selain pengisi materi kajian dan jarak yang tak terlalu jauh dari tempat tinggal.


Masjid Mekar Indah di kawasan Cikarang Baru dapat dikategorikan sebagai tempat layak untuk ber-I’tikaf.Setiap tahunnya tak pernah sepi pengunjung ketika memasuki waktu I’tikaf.


Masjid yang satu ini areanya cukup luas, apalagi baru-baru telah melakukan pembenahan sehingga area tempat sholat semakin lega saja.Dilengkapi sound system yang cukup berkualitas.


Dilengkapi dengan tempat parkir motor yang leluasa, dengan nuansa sekitar masjid yang cukup hening dan nyaman.


Sederet Ustadz ‘yang tak asing lagi’ biasanya siap mengisi malam-malam I’tikaf di Masjid Mekar indah dengan siraman rohaninya dan diskusi-diskusi keagamaan yang diselenggarakan ba’da shalat tarweh hingga jam 10 malam.


Dilanjut dengan shalat tahajjud jam 2.30 dini hari hingga jam 4.00, dilanjutkan dengan makan sahur bersama dan shalat subuh berjama’ah.


Subahanallah, sungguh indah ber-I’tikaf di masjid Mekar Indah.
Jika tidak ada perubahan, berikut ini jadwal pengisi kajian I’tikaf di Masjid Mekar Indah, Cikarang Baru :


30.ags.2010 : Mahmud al-hafidz thema : Cara Cepat Menghafal Al-Qur’an
31.ags.2010 : Sona’I Abdurrahman Lc thema : Alqur’an dan Kisah Umat terdahulu
01.sep.2010 : Juju Jubair S.HI thema : Ekonomi Berkah Syariah
02.sep.2010 : Apud Kusaeri Msi thema : Keluarga Harmonis yang Islami
03.sep.2010 : Mahmud Muklis thema : Dakwah media dalam Islam
04.sep.2010 : Zaenal Muttaqin Lc thema : Masyarakat Madinah dibawah naungan Al-Qur’an
05.sep.2010 : M.Adih Amin Lc MA thema : Model Masyarakat Qur’ani


Mari kita isi hari-hari terkahir Ramadhan tahun ini dengan aktifitas I’tikaf.Masjid Mekar Indah siap menampung jama’ah untuk kegiatan tersebut.


Alamat Masjid Mekar Indah : Jl.Puspita II Mekar Indah Cikarang Baru Tlp : (021) 89832007 (nikolas)
READ MORE - Indahnya I'tikaf di Mekar Indah

Ramadhan di Makkah: Hari-hari al-Qur’an

Rabu, 25 Agustus 2010

CikarangNews6: Saat Ramadhan, semua penghafal al-Qur’an ‘turun gunung’ ke masjid-masjid atau mushollah

Hidayatullah.com—Tahun ini, usia saya sudah hampir 51 tahun. Tidak terasa, saya sudah berada Tanah Haram, sekitar 33 tahun lamanya. Pertama kali menginjakkan kaki di Makkah, tujuan saya ada mengaji. Saya akhirnya kuliah di Umul Qura’ di jurusan Ushuluddin.

Namun karena semenjak kuliah saya sudah berurusan dengan jamaah haji dan umrah, akhirnya lambat laun saya menjadi 
mutawwif (pembimbing umrah dan haji) dan menghandle jamaah.  Kini, saya, istri, anak-anak, dan orangtua, sudah tinggal di sini.

Ramadhan di bumi kelahiran Nabi Muhammad ini sudah saya rasakan lebih dari seperempat abad lamanya. Meski demikian, suasana ibadahnya kayaknya hampir sama saja. Tetap indah dan tak pernah membosankan. Bahkan dari tahun ke tahun, suasana kemudahan semakin banyak.

Suasana orang yang ingin beribadah di Haram hampir sama dengan jamaah Haji. Ini terjadi karena banyak orang melakukan umrah, sebagaimana  ada 
targhib (janji) dari Rasulullah.  Akibatnya, jamaah membludak dan hotel ikut jadi mahal. Wajar saja, ini karena permintaan lebih banyak dari persediaan kamar. Banyak orang mampu ingin menikmati suasana indah Ramadhan di Masjidil Haram.

Hanya saja, di bulan Ramadhan, suasanya jauh lebih teratur, sebab manusianya jauh lebih ngerti agama. Agak berbeda sekali dengan musim haji yang boleh dikatakan lebih kacau balau.

Sekedar contoh, di Bulan Ramadhan, tidak ada perempuan berdiri satu saf dengan laki-laki. Sebaliknya di haji itu menjadi pemandangan biasa. Sebab umumnya, kalau haji yang datang banyak orang kampung dan sebagian besar belum pernah kenal teknologi tinggi. Seperti naik lift yang dikhususkan wanita. Selain itu, tingkat bekal ilmu syar'inya belum memadai. Sedang bulan Ramadhaan sebaliknya.

Saat Ramadhan Masjidil Haram jauh lebih bersih, tapi tidak saat di musim haji. Susana seperti ini bukan hanya ada di Masjidil Haram saja, namun hampir terjadi di kota Makkah secara umum.

Selama lebih dari 30 tahun, baru sekali saya Ramadhan di Indonesia.  Tapi di Indonesia sangat keterlaluan. Di Jakarta,  misalnya, siangnya tidak terlihat suasana 
shaum Ramadhan sama sekali. Banyak  orang makan dan minum minum. Warung juga buka seperti biasa di mana-mana.  Pokoknya tidak ada suasana yang mendukung ibadah. Hanya malamnya saja yang kelihatan karena masjid-masjid menyelenggarakan tarawih.

Pernah menjelang buka saya singgah di salah satu mushollah. Mengagetkan, orangnya cuma satu. Dia yang adzan, dia yang iqomah dan dia pula yang menjadi imam. Sungguh memprihatinkan.

Saya sempat mampir ke masjid Ma'had Alhikmah di Jalan Bangka, Kemang. Di situ tarawihnya hampir satu juz. Atau di masjid jamaah Tablig di Hayam Wuruk, 
Alhamdulillah, imamnya huffaz dan bagus.

Di Indonesia, jika Ramadhan, mall dan TV sangat ramai, masjid malah sepi, apalagi jika menjelang
i'tikaf. Di Makkah sebaliknya. Untuk mencari stasiun TV luar harus menggunakan parabola.
“Banjir” Infaq dan al-Qur’an

Ramadhan di Makkah tidak ada dukanya. Hampir semua saya rasakan sebagai suka. Dari semua sisinya, baik urusan dunia dan akhirat.

Ini terjadi karena nuansa Ramadan di Makkah memang sangat kental nuansa ibadahnya. Apalagi kalau berada di sekitar Masjidil Haram. Tak ada yang kita saksikan kecuali semua orang berlomba-lomba beribadah dan bersedekah.

Selama Ramadhan, tak akan kita saksikan satu orangpun tidak berpuasa, layaknya di Indonesia. Selain itu, Ramadhan di sini, ibarat bulan infak. Hampir semua orang kita saksikan begitu semangat berinfak.

Setiap hari, semua orang –tak peduli orang Asli Arab atau pendatang-- membagi-bagi uang, makanan untuk iftar (buka puasa) dan lain-lain.

Seandainya ada orang datang ke Tanah Haram di Bulan Ramadhan tanpa uang sepeser pun, dipastikan ia tidak akan kelaparan dan pasti kenyang. Orang membagi iftar ada di mana-mana. Termasuk bekal sahur. Ibaratnya, hanya dengan bekal badan saja, orang sudah dijamin kenyang. Bahkan kalau berani, malah bisa pulang bisa membawa 1 kwintal kurma terbagus.

Sekedar catatan, di bulan Ramadhan, semua kurma yang terbaik di Saudi akan dikeluarkan. Dari yang harganya cuma 5 real (sekitarRp. 45 ribu) per kilo sampai yang harga 100 real (hampir 300 ribu) per kilo.

Keindahan yang tidak ada di tempat lain adalah semangat beribadah di masjid-masjid, khususnya di Masjidil Haram. Meski demikian,  hampir di semua masjid, walau masjid kecil sekalipun, semua penuh orang untuk dzikir, baca al-Quran atau shalat.

Satu lagi yang juga tak kalah indah di Makkah, para 
huffaz (penghafal al-Quran), betul-betul memanfaatkan Ramadhan untuk memuraja'ah (melancarkan) hafalannya.

Hampir semua imam tarawih di masjid kecil sekalipun, termasuk para imam  baru, sengaja diterjunkan oleh guru-guru mereka untuk memurajaah hafalannya. Ibaratnya, mereka ‘turun-gunung’ ke masjid-masjid kecil atau mushollah.

Huffaz yang saya maksud di sini adalah anak-anak yang baru belasan tahun. Usianya setingkat SMP atau SMU. Meski demikian, mereka adalah anak-anak yang sudah khatam hafalannya. 
Subhanallah, rata-rata di semua masjid, anak-anak muda yang ditugaskan menjadi imam tarawih itu memiliki suara yang luar biasa bagus, tartil dan lancar hafalannya. Sungguh luar biasa indah!

Pemandangan ini, bukan sebuah pemandangan aneh. Bahkan pernah, di sebuah masjid kecil di Tanah Haram, yang menjadi imam anak berusia 6 tahun. Tapi jangan keliru, ia memiliki suara luar biasa bagus. Memang belum baligh, namun mereka sudah 
mumayyiz (yang telah mampu membedakan mana yang baik dan yang buruk).

Sementara itu, di Masjidil Haram, banyak orang  menanti para huffaz, yang umumnya imam senior menjadi imam secara bergantian, sampai selesai satu juz.

Meski di Masjidil Haram shalatnya tarawihnya 23 rakaat (20+3), rata-rata jamaah menikmati dan sangat merindukan. Bacaan 1 juz yang membutuhkan waktu sekitar dua jam tak membuat orang bosan atau beranjak.

Ini karena orang begitu menikmati beribadah. Bacaan yang indah dan mengasyikkan ikut membawa suasana jamaah bersemangat. Tak sedikit jamaah menangis karena mereka menghayati makna bacaan imam. Ada juga yang ikut menangis karena di samping kiri dan kanan mereka sudah menangis,.

Dengan kata lain, bulan Ramadhan di Tanah Haram itu seperti bulan al-Quran. Bulan Ramadhan, adalah hari-harinya demo keindahan al-Quran.


[Diceritakan oleh Amiruddin Abdullah Rasul dari Tanah Haram/hidayatullah.com]
READ MORE - Ramadhan di Makkah: Hari-hari al-Qur’an

KH Noer Alie: Singa Karawang-Bekasi

CikarangNews6:  
Siapa yang tak kenal puisi Karawang-Bekasi karya Chairil Anwar? Tapi adakah yang tahu mengapa ia menciptakan puisi yang melegenda itu? Mungkin tak banyak yang menduga jika Chairil terinpsirasi oleh seorang warga Bekasi asli bernama KH Noer Alie.













Hingga kini, nama KH Noer Alie memang belum dikenal luas di pentas nasional. Bahkan, di kalangan masyarakat Bekasi pun, masih ada yang belum mengenalnya. Namun, jika ia bisa menginspirasi seorang Chairil Anwar, pasti ada suatu keistimewaan yang dimilikinya.
Ya, KH Noer Alie memiliki jejak perjuangan yang tak kelah heroiknya dengan pahlawan nasional lain semisal Soekarno, Hatta, Agus Salim, Natsir dan lainnya. Tercatat, dari sekian banyak pertempuran antara KH Noer Alie dan masyarakat Bekasi dengan penjajah, ada dua perlawanan yang melegenda.
Pertama,  Pertempuran Sasak Kapuk. Pertempuran sengit itu meletus pada 29 November 1945, antara pasukan KH Noer Alie dengan Sekutu – Inggris di Pondok Ungu. Pasukan rakyat KH Noer Alie mendesak pasukan Sekutu dengan serangan mendadak. Melihat pasukan Sekutu  terdesak, mulai timbul rasa takabur pada pasukannya, sehingga ketika pasukan Sekutu mulai berbalik setelah sekitar satu jam terdesak, pasukan rakyat berbalik terdesak sampai jembatan Sasak Kapuk, Pondok Ungu, Bekasi.
Melihat kondisi pasukannya yang  kocar-kacir, KH Noer Alie memerintahkan untuk mundur. Tapi, sebagian pasukannya masih tetap bertahan, sehingga sekitar tiga puluh orang pasukan Laskar Rakyat gugur dalam pertempuran tersebut.
Kedua, Peristiwa Rawa Gede. Untuk menunjukkan bahwa pertahanan Indonesia masih eksis, KH Noer Alie memerintahkan pasukannya bersama masyarakat di Tanjung Karekok, Rawa Gede, dan Karawang, untuk membuat bendera merah – putih ukuran kecil terbuat dari kertas.
Ribuan bendera tersebut lalu ditancapkan di setiap pohon dan rumah penduduk dengan tujuan membangkitkan moral rakyat bahwa di tengah – tengah kekuasaan Belanda, masih ada pasukan Indonesia yang terus melakukan perlawanan.
Aksi heroik tersebut membuat Belanda terperangah dan mengira pemasangan bendera merah-putih tersebut dilakukan oleh TNI.  Belanda langsung mencari Mayor Lukas Kustaryo. Karena tidak ditemukan, mereka marah dan membantai sekitar 400 orang warga sekitar Rawa Gede.
Pembantaian yang terkenal dalam laporan De Exceseen Nota Belanda itu, di satu sisi mengakibatkan terbunuhnya rakyat, namun disisi lain para para petinggi Belanda dan Indonesia tersadar bahwa di sekitar Karawang, Cikampek, Bekasi dan Jakarta masih ada kekuatan Indonesia. Sedangkan citra Belanda kian terpuruk, karena telah melakukan pembunuhan keji terhadap penduduk yang tidak bedosa.
Siapa sebenarnya KH Noer Alie?
Ia lahir di Desa Ujung Malang, Babelan, Bekasi pada 15 Juli 1914. Noer Alie adalah  anak keempat dari sepuluh bersaudara pasangan Anwar bin Layu dan Maimunah binti Tarbin. Tanda-tanda kepahlawanannya sudah terlihat sejak kecil. Suatu saat, ia pernah ditanya, apa cita-citanya di dunia. “Ingin membangun perkampungan surga,” jawab Noer Alie kecil.
Ia memiliki semangat belajar yang tinggi. Di usianya yang masih di bawah lima tahun, ia telah mampu menghapal surat –surat pendek dalam Al-Qur’an yang diajarkan oleh kedua orangtua dan kakaknya. Pada usia tujuh tahun, Noer Alie mengaji pada guru Maksum di kampung Ujung Malang Bulak. Pelajaran yang diberikan oleh gurunya lebih dititikberakan pada pengenalan dan mengeja huruf Arab, menyimak, menghafal dan membaca Juz-amma serta menghafal dasar – dasar Rukun Islam, Rukun Iman, tarikh para nabi, akhlak dan fikih.
Dua tahun kemudian, Noer Alie kecil mendapat guru baru bernama Mughni, masih  di Ujung Malang. Ia mendapatkan pelajaran-pelajaran alfiah atau tata bahasa Arab, Al-Qur’an, tajwid, nahwu, tauhid dan fiqih.
Saat beranjak remaja, Noer Alie pindah ke Klender. Ia mondok di sebuah pesantren dan menuntut ilmu pada guru Marzuki. Noer Alie remaja mempelajari kitab kuning (kitab Islam Klasik ) sebagai inti pendidikan. Di samping itu, ia juga belajar cara menunggang kuda dan berburu bajing, hewan pemakan buah kelapa yang dianggap sebagai hama.
Ketika usianya 20 tahun, ia pergi ke Mekkah. Di sana, ia menuntut ilmu di Madrasah Darul Ulum. Semangat belajarnya yang tinggi membuat ia berguru pada beberapa ulama di lingkungan Masjidil Haram, antara lain pada Syeikh Alie Al-Maliki (hadits); Syeikh Umar Hamdan (kutubusittah: hadits yang diriwayatkan oleh enam perawi: Buchori, Tarmizi, Abu Daud, Nasa’i dan Ibnu Majah ); Syeikh Ahmad Fatoni (fikih, dengan kitab Iqna sebagai acuan); Syeikh Mohamad Amin al-Quthbi (ilmu nahwu, qawati/sastra ), badi’/mengarang, tauhid dan mantiq/ ilmu logika yang mengandung filsafah Yunani, dengan kitab Asmuni sebagai acuan); Syeikh Abdul Zalil (ilmu politik); Syeikh Umar Atturki dan Syeikh Ibnu Arabi (hadits dan ulumul Qur’an).
Selama di negeri orang, ia aktif berorganisasi. Salah satunya, dengan menjadi anggota pelajar Islam dari Jepang, sebagai Ketua Persatuan Pelajar Betawi (PBB), dan  aktif di Perhimpunan Pelajar – Pelajar Indonesia (PPPI), Persatuan Talabah Indonesia (Pertindo) dan Perhimpunan Pelajar Indonesai Melayu (Perindom).
Noer Alie muda memutuskan kembali ke Tanah Air pada 1939 setelah mendapat kabar negerinya ditindas kaum penjajah. Sebuah pesan penting disampaikan Syeikh Alie Al – Maliki padanya. “ Ingat, jika bekerja jangan jadi penghulu (pegawai pemerintah). Kalau kamu mau mengajar, saya akan ridho dunia akhirat.” Pesan itu terus terngiang di benaknya hingga tiba di Indonesia.
Ulama Pejuang
Setibanya di Tanah Air, Noer Alie membuat gebrakan dengan mendirikan madrasah. Suami Siti Rahmah binti Mughni itu lalu menghimpun kekuatan umat, di antaranya membangun jalan tembus Ujung Malang – Teluk Pucung pada 1941.
Untuk mempersiapkan diri bila sewaktu – waktu bangsa Indonesia harus bertempur secara fisik, Noer Alie menyalurkan santrinya ke dalam Heiho (pembantu prajurit), Keibodan (barisan pembantu polisi) di Teluk Pucung. Salah seorang santrinya, Marzuki Alam, dipersilakan mengikuti latihan kemiliteran Pembela Tanah Air (Peta).
Saat Rapat Ikada digelar pada pada 19 September 1945 di Monas, Noer Alie datang dengan mengendarai delman. Nama Noer Alie kian dikenal di kalangan pejuang saat Bung Tomo meneriakkan namanya beberapa kali dalam siaran radionya di Surabaya, Jawa Timur.
Pada bulan November 1945, KH Noer Alie membentuk Laskar Rakyat. Seluruh badal (pasukan) dan santrinya diperintahkan menghentikan proses belajar-mengajar untuk mendukung perjuangan. Ia kemudian mengeluarkan fatwa: “Wajib hukumnya berjuang melawan penjajah.” Dalam waktu singkat, Laskar Rakyat berhasil menghimpun sekitar 200 orang yang merupakan gabungan para santri dan pemuda sekitar Babelan, Tarumajaya, Cilincing, Muaragembong. Mereka dilatih mental  oleh KH Noer Alie dan secara fisik dilatih dasar-dasar kemiliteran oleh Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Bekasi dan Jatinegara.
Akhir 1945, dibentuk kesatuan bersenjata yang berafiliasi kepada partai politik. Saat itu, Abu GhozAlie sebagai komandan resimen Hizbullah Bekasi (badan pejuangan Partai Majelis Sjuro Muslimin Indonesia/ Masjumi) menunjuk KH Noer Alie sebagai komandan Batalyon III Hizbullah Bekasi.
Setelah Agresi Militer Pertama Belanda pada 1947, KH Noerl Alie mengadakan musyawarah darurat di Karawang. Itu dilakukan karena ia tidak rela melihat negerinya terus dijajah. Hasil musyawarah itu memutuskan untuk mengirim KH Noer Alie bersama lima orang rekannya menemui Panglima Besar Jenderal Soedirman di Jogjakarta.
Sesampai di Jogjakarta, rombongan KH Noer Alie diterima oleh Letnan Jenderal Oerip Soemohadjo karena Jenderal Soedirman tidak berada di tempat. KH Noer Alie diminta untuk melakukan perlawanan secara bergerilya. Ia kemudian mendirikan Hizbullah - Sabilillah pusat dengan nama Markas Pusat Hizbullah-Sabilillah ( MPHS ) yang diketuai langsung oleh dirinya.
Pada 10 Januari 1948, Mohammad Moe’min, Wakil Residen Jakarta dari pihak Republik Indonesia, mengangkat KH Noer Alie sebagai Koordinator (Pejabat Bupati) Kabupaten Jatinegara. Namun jabatan pemerintahan yang seharusnya dimulai pada 15 Januari 1948 tidak berlangsung lama, karena pada 17 Januari 1948 terjadi Perjanjian Renville yang mengharuskan tentara Indonesia di Jawa Barat hijrah ke Jawa Tengah dan Banten. KH Noer Alie memilih hijrah ke Banten dengan membawa 100 orang pasukan dari Kompi Syukur.
Ketika perlawanan bersenjata mulai mereda, pada 1949 KH Noer Alie memilih berjuang di lapangan sipil. Ia diminta membantu Muhammad Natsir sebagai anggota delegasi Republik Indonesia Serikat di Indonesia dalam konperensi Indonesia – Belanda.
Dalam kesempatan tersebut, KH Noer Alie sempat membahas kelanjutan perjuangan dengan tokoh – tokoh nasional di Jakarta, seperti Muhammad Natsir, Mr. Yusuf Wibisono, Mr. Muhammad Roem, Muhammad Syafe;I dan KH Rojiun, dan kemudian ia diminta untuk menyalurkan aspirasi polotiknya, bergabung dalam partai Masjumi.
Pada  Januari 1950, KH Noer Alie bersama teman – teman dan anak buahnya, seperti R. Supardi, Madnuin Hasibuan, Namin, Taminudin, Marzuki Hidayat, Marzuki Urmani, Nurhasan Ibnuhajar, A. Sirad, Hasan Syahroni dan Masturo membentuk Panitia Amanat Rakyat. Pada 17 Januari 1950, Panitia Amanat Rakyat itu kemudian menghimpun sekitar 25.000 rakyat Bekasi dan Cikarang di Alun – Alun Bekasi. Mereka mendeklarasikan resolusi yang menyatakan penyerahan kekuasaan pemerintah Federal kepada Republik Indonesia. Pengembalian seluruh Jawa Barat kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dan KH Noer Alie bersama Lukas Kustaryo menuntut agar nama kabupaten Jatinegara diubah menjadi Kabupaten Bekasi. Tuntutan tersebut diterima oleh Perdana Menteri Mohammad Natsir, sehingga pada 15 Agustus 1950 terbentuklah Kabupaten Bekasi di Jatinegara, serta selanjutnya dimasukkan ke dalam wilayah Provinsi Jawa Barat.
Ulama Kharismatik
KH Noer Alie dikenal dengan sebutan “Engkong Kiai.” Jika ia berjalan, tidak ada seorang pun, baik pejalan kaki atau pun yang memakai kendaraan, yang berani mendahuluinya. Mereka lebih cenderung untuk memilih jalan lain atau melompati got sebagai jalan pintas apabila terpaksa harus mendahului Engkong Kiai.
Pada zamannya, tidak ada akses jalan yang rusak di sekitar desa, karena apabila terjadi kerusakan jalan dan diketahui oleh KH Noer Alie, aparat pemerintah akan langsung buru – buru memperbaikinya, mengingat besarnya jasa beliau terhadap pembangunan, terutama di wilayah Bekasi.
Salah satu karya fenomenal yang berhasil diwujudkan oleh KH Noer Alie adalah pembangunan dan pembukaan akses jalan secara besar – besaran di sekitar Desa Ujungharapan Bahagia, Kecamatan Babelan, Kabupaten Bekasi. Semua warga dengan sukarela dan ikhlas akan mewakafkan tanahnya jika yang meminta KH Noer Alie. Ia pun tak segan untuk turun langsung bergotong-royong bersama warga membangun jalan seperti saat pelebaran Gang Perintis pada 1980.
Jasa-jasanya itulah yang akhirnya membuat ia dianugerahi gelar Pahlawan Nasional dan bintang Maha Putra Adipradana oleh pemerintah Republik Indonesia pada 2006. Penghargaan lainnya adalah dengan menjadikan nama “Singa Karawang-Bekasi” itu sebagai nama jalan di sepanjang Kalimalang menuju Jakarta.

Sumber: www.esqmagazine.com

READ MORE - KH Noer Alie: Singa Karawang-Bekasi

Tokoh Kita: ARIEF RACHMAN, DOKTER SPESIALIS BENCANA

Selasa, 24 Agustus 2010

CikarangNews6: Menolak ditempatkan di rumah sakit mapan dengan gaji besar. Kemampuannya justru semakin terasah jika ia ditugaskan di daerah bencana.
FOTO: DOK. SAHID
Rambutnya gondrong dan terlihat acak-acakan. Celana yang dipakainya sedikit melebihi lutut. Siapa pun tak menyangka kalau dirinya adalah dokter. Termasuk Kepala Dinas Kesehatan Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). “Anda ini tidak sabar sekali, ya. Kayak Anda dokternya saja!” hardik Sang kepala dinas kesehatan NAD saat itu.
Kejadian ini dialami Arief Rachman tahun 2005 saat ia bertugas sebagai dokter Pegawai Tidak Tetap (PTT) di wilayah NAD. Arief menyambangi kantor Dinas Kesehatan NAD untuk mendapat surat dispensasi PTT ”cara lain”. Karena tidak dilayani, akhirnya ia langsung menghadap kepala dinas. Namun, bukan sikap ramah yang diterima. Ia malah disemprot oleh Sang kepala dinas.


Sebetulnya Arief ditugaskan oleh Departemen Kesehatan RI menjadi dokter PTT di rumah sakit berpredikat teladan di Sampit, Kalimantan Tengah. Rencananya ia ditugaskan di sana selama dua tahun. Namun ia menolaknya. ”Saya tidak cocok di sini. Sistem dan manajemennya sudah berjalan. Saya tidak dibutuhkan di tempat ini,” ujar Arief kepada pemberi tugas kala itu.


Ia pun mengusulkan agar ditempatkan di NAD yang saat itu baru saja luluh lantak diterjang Tsunami. Kata Arief, pemindahan tempat PTT yang diajukan dokter pemohon biasa disebut PTT ”cara lain”. Arief mendapatkan PTT cara lain di NAD melalui kerjasama dengan lembaga nirlaba Medical Emergency Rescue Committee (MER-C).
Kata Arief, jika saat itu dirinya bersedia ditempatkan di Sampit, tiap bulan dia akan mendapat honor Rp 6 juta dari pemerintah. Namun dengan memilih NAD, kocek Arief hanya terisi Rp 3 juta per bulan dari MER-C.

”Saya tidak betah bila harus duduk manis menunggu pasien di RS yang sudah mapan. Aceh bagi saya lebih menarik, karena apa yang selama ini diperoleh di fakultas kedokteran bisa saya uji-cobakan di Aceh. Saya tak hanya sekadar mengobati pasien, tapi juga bisa membangun sistem dan manajemen RS,” papar alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini.


Spesialis Bencana
Arief memang tidak seperti dokter pada umumnya. Ia bahkan tidak memiliki tempat praktek tetap. Ia beralasan tidak tega bila harus menulis tagihan biaya periksa kesehatan kepada Sang pasien. ”Saya sering tergagap ketika pasien bertanya berapa biayanya,” ujarnya.



Itu sebabnya, Arief lebih senang bertugas di daerah bencana atau daerah konflik. Kata Arief, di lokasi bencana dirinya mendapat kenyamanan, dan hubungan antara dirinya dengan pasien bisa terjaga.
Indonesia, kata Arief, adalah negara seribu satu bencana. Sayangnya, tak banyak dokter spesialis untuk daerah bencana. ”Saya berharap mengisi ceruk yang selama ini tak diminati dokter lainnya,” kata ayah satu anak ini.

Menurutnya, di lokasi bencana kemampuannya benar-benar diuji. Di Aceh, ia pernah menangani pasien yang tengah sekarat. Untuk merujuk pasien ke RS yang lengkap peralatannya tidak mungkin karena jalan terputus akibat gempa.
Di lokasi bencana, jelas Arief, dirinya harus mampu berperan menjadi dokter umum, dokter bedah, hingga menjadi dokter spesialis menanggani persalinan. Ketika tidak ada pilihan lagi, Arief dituntut untuk memberikan yang terbaik bagi sang pasien.


Hal berbeda bila praktek di kota. Katanya, dalam keadaan kritis dengan mudah dokter di kota bisa merujuk pasiennya ke RS lain yang lebih lengkap pelayanannya.”Ketika ada pasien yang saya tidak tahu lagi harus diapakan, atau pasien sudah harus ditangani oleh dokter spesialis, dengan mudahnya saya dapat membuat surat rujukan lalu memberitahukan keluarganya. Maka tanggungjawab saya pun selesai,” jelas Arief.


Lintas Batas
Selain Aceh, Arief juga pernah ditugaskan oleh MER-C ke Ambon, Papua, hingga ke Jalur Gaza, Palestina. Untuk penugasan ke Gaza, Arief sudah melakoninya selama dua kali. Termasuk perjalanan armada kebebasan menuju Gaza, Freedom Flotilla, bersama sebelas relawan Indonesia lainnya yang diserang tentara Zionis Israel akhir Mei 2010 lalu.



Meski demikian, Arief mengaku tidak kapok bila ditugaskan kembali ke Gaza. Peristiwa Mavi Marmara, kata Arief, dianggapnya sebagai ujian dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. ”Ini pembuktian seberapa besar cinta kita kepada Gaza. Masak, baru 24 jam saja kita diperlakukan biadab oleh tentara Israel di atas kapal Mavi Marmara, kita langsung kapok. Padahal, masyarakat Gaza sudah 60 tahun diperlakukan lebih dari itu,” katanya menegaskan.


Saat MER-C menugaskan Arief ke Gaza untuk ketiga kalinya, Arief menerima dengan senang hati. Alhamdulillah, pertengahan Juli 2010 lalu, Arief bersama lima relawan MER-C lainnya berhasil masuk ke Gaza untuk melanjutkan misi membangun rumah sakit Indonesia di sana.


Arief bergabung bersama MER-C sejak tahun 1999. Saat itu, ia masih co ass (praktek lapangan calon dokter) di Yogya. Arief merupakan salah seorang pendiri MER-C Cabang Yogyakarta. Di tahun 2002, Arief bersama MER-C Yogya menangani korban bencana banjir di Jawa Tengah sebanyak enam kali.


Arief merampungkan kuliahnya di Fakultas Kedokteran UGM (2003). Selain bertugas di MER-C, lelaki kelahiran Jakarta 16 April 1978 ini juga pernah menjadi dokter jaga di klinik Labschool Jakarta dan di salah satu klinik rekanan Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia.


Beda Penampilan
Arief Rachman merupakan buah hati dari pasangan Achmad Munandar (55) dan Ami Rachmiyati (52). Kedua orangtuanya asli Jakarta. Ayahnya pegawai kantor pos yang kerap dipindahtugaskan ke berbagai daerah. Itu sebabnya, masa kecil hingga remaja Arief dihabiskan di luar Jakarta.



Ilmu-ilmu keislaman diperolehnya dari madrasah saat ia bermukim di Nusa Tenggara Timur (NTT). Selain itu, ia memperolehnya saat kuliah di UGM. Ia sempat merasakan atmosfir sistem tarbiyah di Lembaga Dakwah Kampus (LDK).


Arief juga pernah bergabung di Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala). Ia kerap mendaki gunung berhari-hari dengan teman-temannya. Penampilannya pun tak jauh beda dengan aktivis pencinta alam lainnya, berambut gondrong, berkaos oblong plus bercelana buntung. Bahkan, saat ditugaskan ke Gaza untuk pertama kali, ia masih berambut gondrong. Karenanya, masyarakat Gaza memanggil dirinya ”dokter gondrong”.


Namun, sejak menikah dengan Kuntum Khairatifa (30) pada Desember 2005, Arief memotong rapi rambutnya dan menghindari berpenampilan mewah. ”Kalau saya necis, orang sungkan menyuruh saya mengepel. Padahal di lokasi bencana, apa pun harus bisa saya lakukan, termasuk mengepel lantai,” ujarnya berkelakar.

Arief memang dikenal sederhana. Ia tidak ingin hidupnya hanya digunakan untuk mengejar materi. Dalam setahun, ia selalu meluangkan waktu tiga bulan untuk terjun ke daerah bencana.
Sebagai dokter spesialis bencana, penghasilan Arief memang tidak sebesar dokter–dokter umumnya. Tak heran, pilihannya ini sempat ditentang oleh ibunya. ”Kamu ini kan dokter, kok tidak pernah praktek? Lihat tuh temanmu sudah bawa mobil!” ujar Arief menirukan penuturan ibunya.


Menanggapi sang Ibu, Arief mengatakan, ”sekarang ini kaya-miskin seseorang tidak bisa dihitung dari apa yang kelihatan (materi). Ibu semestinya bangga mempunyai anak yang membantu orang tanpa harus dibayar.”
Syukurlah, kini sang Bunda mulai mengerti dan mendukung jalan mulia yang ditempuh putranya. *


Sumber: Bilal Muhammad, Ibnu Syafaat/Suara Hidayatullah, AGUSTUS 2010
READ MORE - Tokoh Kita: ARIEF RACHMAN, DOKTER SPESIALIS BENCANA

LPPOM-MUI: J.Co Donut Belum Pernah Mendapatkan Sertifikat Halal

CikarangNews6: Hingga saat ini produk J.Co Donuts belum pernah mendapatkan sertifikat halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Hidayatullah.com—Dalam laman situsnya, Lembaga Pengkajian pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) memperingatkan masyarakat tidak terkecoh label halal yang tertera dalam J.Co Donut.

Menurut LPPOM MUI, sampai sekarang produk makanan yang didirikan dan dimiliki oleh Johnny Andrean Group ini belum pernah mendapat sertifikasi  halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI).

“Bagi yang doyan makan J.Co Donut’s hati-hati, terutama dalam masalah aspek kehalalan. Sebab dalam kemasan produk J.Co Donuts terdapat tulisan “prepared in compliance to halal standards”. Permasalahannya adalah bahwa hingga saat ini produk J.Co Donuts belum pernah mendapatkan sertifikat halal dari MUI,” demikian imbauan MUI tersebut.

LPPOM juga meminta masyarakat dan konsumen tetap kritis dalam menyikapi hal ini.

“Produk bersertifikat halal biasanya terdapat logo halal MUI pada kemasannya dan nomor sertifikat halal. Untuk produk import bisa juga disertifikasi oleh lembaga sertifikasi halal yang sudah diakui MUI, “ tulisnya.

J. CO Donuts & Coffee adalah sebuah toko roti di Indonesia, pengecer yang mengkhususkan dalam donat dan kopi.  J. CO Donuts & Coffee didirikan sejak tahun 2005 dan termasuk cepat berkembang.

Dalam waktu yang singkat, J. Co telah berkembang menjadi 30 gerai di 9 kota di Indonesia. Baru-baru ini memulai terjun ke Malaysia dengan pembukaan outlet di Pavilion Kuala Lumpur dan kemudian di Sunway Pyramid di Petaling Jaya, Selangor.  [halalmui/hidayatullah.com]
READ MORE - LPPOM-MUI: J.Co Donut Belum Pernah Mendapatkan Sertifikat Halal

Masjid Muhammad Cheng Ho Mengabadikan Syiar Islam ala Tionghoa

by Agung Heru Setiawan


Sebuah masjid unik khas Tionghoa berdiri di Surabaya. Berusia lima tahun, makin banyak kiprah yang diberikan rumah ibadah ini untuk syiar Islam di Indonesia. Ia sekaligus menjadi bukti bahwa memeluk Islam bagi seorang Tionghoa adalah sesuatu yang lumrah.

Siang itu, Jumat (23/5), cuaca memang sangat panas, seakan membuat warga kota terbesar kedua setelah Jakarta ini enggan beranjak ke luar ruangan. Namun bagi setiap muslim, ada kewajiban di siang itu: melaksanakan shalat Jumat. Beberapa orang tampak melangkahkan kakinya ke masjid, sebagian lagi sudah memadati rumah Allah. Tak terkecuali warga dan karyawan di sekitar Masjid Muhammad Cheng Hoo Indonesia yang terletak di Jalan Gading Surabaya. Nama jalan ini mungkin kurang familiar. Namun untuk mencari lokasi masjid itu tidaklah sulit. Ia berada di belakang komplek TMP Kusuma Bangsa, yang berseberangan dengan lokasi rekreasi Taman Remaja Surabaya.

Sehari sebelumnya, delapan tenda yang dirangkai menjadi satu telah terpasang di halaman masjid. Tenda-tenda itu dipersiapkan untuk menampung jamaah shalat Jumat yang meluber sampai ke halaman, dan biasanya baru dikemasi Jumat petang. Tertutup tenda, masjid unik ini hanya terlihat bagian atasnya, sebuah pagoda berlapis tiga yang biasa terdapat di bagian atas kelenteng, tempat ibadah umat Kong Hu Cu. Namun yang membedakan, di atas pagoda masjid Cheng Hoo ini terpasang lafadz Allah, seperti lazim ditemui di kubah masjid pada umumnya.

Satu per satu jamaah mulai memenuhi ruangan masjid, lalu halaman luar di bawah tenda. Total sekitar 1.500 jamaah. Tak seperti nama dan bentuk masjid yang sangat khas Tiongkok, jamaah di masjid ini ternyata tak semuanya bersuku China. Bahkan jamaah shalat dari suku Jawa tampak mendominasi.

Bulan Mei ini, Masjid Muhammad Cheng Hoo sudah genap berusia lima tahun. Dulu pembangunannya dimulai pada 15 Oktober 2001 dan diresmikan pada 28 Mei 2003. Penggagas pendiriannya adalah HMY Bambang Sujanto, alias Liu Min Yuan. Masjid unik ini berada di bawah pengelolaan Persatuan Iman Tauhid Islam atau Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Korwil Jawa Timur dan Yayasan Haji Muhammad Cheng Hoo Indonesia.

Ihwal penamaan masjd ini, diambil dari seorang laksamana muslim yang turut mensyiarkan Islam di Indonesia sekitar 600 tahun lalu, Muhammad Cheng Hoo. Ia adalah utusan Raja Dinasti Ming yang menjalani kunjungan ke Asia sebagai duta perdamaian. Sebagai seorang bahariawan dan laksamana, Cheng Hoo berhasil mengelilingi dunia selama tujuh kali berturut-turut. Ia menjalin hubungan dagang dengan negara-negara yang ia kunjungi, termasuk dengan Kerajaan Majapahit di Nusantara. Untuk mempererat hubungan dengan kerajaan ini, diberikanlah Putri Campa untuk dipersunting oleh Raja Majapahit. Keturunan Putri Campa pertama adalah Raden Patah, kemudian Sunan Ampel dan Sunan Giri, yang dikenal di pulau Jawa termasuk dalam sembilan sunan atau Walisongo.

Dalam perbincangan dengan al-Mujtama' di kantor takmir, Ahmad Hariyono, seorang ustadz muallaf yang memiliki nama Tiong Hoa Wang Jin Shui, menjelaskan bahwa Cheng Hoo adalah warga Tionghoa bermarga Ma, berasal dari kata Muhammad. "Makanya yayasan ini pun bernama Muhammad Cheng Hoo. Orang tuanya juga tokoh muslim, bahkan seorang haji. Dalam bahasa Tionghoa disebut hacce," ujar pria kelahiran Batu Malang, 5 Januari 1973 ini.

Masjid Muhammad Cheng Hoo Indonesia dinobatkan sebagai masjid pertama di Indonesia yang mempergunakan nama muslim Tionghoa, dengan bangunan khas Tiongkok. "Masjid ini mendapat penghargaan MURI sebagai masjid pertama di dunia yang bernama Cheng Hoo dan sebagai masjid berarsitek khas budaya Tionghoa," terang Hariyono.
Rancangan awal masjid yang menampung sekitar 200 jamaah ini terilhami dari bentuk Masjid Niu Jie di Beijing yang dibangun pada tahun 966 M. Kemudian pengembangan disain arsitekturnya dilakukan oleh Ir Aziz Johan, anggota PITI dari Bojonegoro, dengan didukung oleh beberapa anggota tim teknis.

Biaya awal pembangunan kala itu sebesar 500 juta yang didapatkan dari hasil penjualan Juz Amma dalam tiga bahasa, yakni Arab, Indonesia, dan Inggris. Kemudian sisanya didapatkan dari sumbangsih masyarakat. Sampai selesai, pembangunan masjid ini menelan biaya Rp 3.300.000.000.

Bangunan masjid berdiri di atas lahan seluas 3.070 m2. Ia didominasi warna merah, hijau, dan kuning. Gabungan unsur Tionghoa, Arab, dan Jawa menjadi ciri khas masjid yang berdiri di belakang markas PITI Jawa Timur itu. Namun dari sekian unsur tersebut, budaya Tionghoa terlihat paling mendominasi. Mulai dari pagoda di bagian atas, hingga bangunan utama masjid.

Perpaduan dari berbagai budaya akan terlihat jelas bila diamati secara seksama. Misalnya, selain lafadz Allah di bagian atas, pagoda ini juga dikelilingi lafdzul jalalah dan 20 sifat wajib Allah. Dua jendela bulat di bagian depan, yang pada bangunan klenteng biasanya bergambar naga, di masjid ini berisi kaligrafi basmalah. Sedang unsur budaya lokal, diwakili oleh ukiran di mihrab dan mimbar, serta bedug yang ada di sisi kanan masjid. Di dekat bedug ini, terdapat relief Muhammad Cheng Hoo dan armada kapal yang digunakannya mengarungi Samudera Hindia.

Sejak dibangun, masjid ini memang tidak dikhususkan untuk etnis Tionghoa saja. Motonya adalah di atas dan untuk semua golongan. "Masjid ini untuk semua umat, baik NU, Muhammaddiyah, Tionghoa, dan lainnya. Khatib jumat di masjid ini juga dari berbagai kalangan. Semua umat Islam yang ingin melaksanakan aktifitasnya di sini, silakan," jelas Hariyono.

Fasilitas yang dimiliki Masjid Muhammad Cheng Hoo antara lain Taman Kanak-Kanak (TK), lapangan olah raga, kantor, kelas kursus Bahasa Mandarin, kantin, pengobatan akupuntur, dan jaringan wifi di seluruh lokasi tersebut.
Berbagai kegiatan dilaksanakan di masjid yang kerap dikunjungi tamu dari luar negeri, seperti Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan Inggris ini. Selain shalat rawatib lima waktu, diselenggarakan pengajian rutin setiap Ahad pagi, dzikir dan doa, plus kajian tafsir tiga kali setiap bulan.

Rupanya, paduan budaya dan rumah ibadah yang indah ini punya arti tersendiri bagi muslim Tionghoa. Ia membuktikan bahwa orang China masuk Islam bukanlah hal aneh, karena 600 tahun lalu, terdapat seorang laksamana beragama Islam bernama Muhammad Cheng Hoo. Bahkan ia turut mensyiarkan Islam di Nusantara. Masjid Muhammad Cheng Hoo ingin mengabadikan semangat itu.

"Tiap bulan minimal empat orang keturunan Tionghoa, melakukan pengikraran atau mengucapkan dua kalimah syahadat di masjid ini, sebagai tanda ia masuk Islam," sebut Hariyono bangga.


READ MORE - Masjid Muhammad Cheng Ho Mengabadikan Syiar Islam ala Tionghoa

Ramadhan di Gaza: Ismail Haniyah Iftar Bersama Keluarga Sederhana

Senin, 23 Agustus 2010

CikarangNews6: Jamuan iftar disediakan oleh keluarga sederhana yang tinggal dalam ruangan pengap.


Hidayatullah.com--Perdana Menteri Ismail Haniyah berbuka puasa bersama dengan sebuah keluarga di Jalur Gaza pada Jumat 20 Agustus 2010.

Keluarga yang terdiri dari delapan orang anggota itu tinggal di sebuah ruangan berukuran kurang dari 20 m2, tanpa ventilasi atau jendela. Keenam anak setiap harinya tidur di lantai bersama kedua orangtua mereka.

Setelah berbuka bersama dengan hidangan ala kadarnya yang disediakan keluarga itu, Haniyah memerintahkan para pembantunya memberikan bantuan makanan untuk tuan rumah, berikut sebuah kipas angin dan keperluan anak yang masih kecil.

Para pejabat mengatakan, kepala keluarga tersebut direkrut untuk sebuah posisi dalam kementerian pemerintahan Gaza.[di/maan/hidayatullah.com]
READ MORE - Ramadhan di Gaza: Ismail Haniyah Iftar Bersama Keluarga Sederhana

IFTHAR JAMA'I BERSAMA DU'AFA DAN YATIM DI AL MUHAJIRIN

CikarangNews6: "Barangsiapa memuliakan anak yatim di bulan ini, Allah akan memuliakannya pada hari ia berjumpa dengan-Nya." (Hadits khutbah Rasulullah menjelang Ramadhan)

Berbekal ilmu memuliakan anak yatim dan duafa serta memberi berbuka kepada orang mukmin yang berbuka, maka ibu-ibu majlis taklim Al Uswah mengadakan acara ini (Ahad, 12 Ramadhan 1431/22 Agustus 2010)


Ini adalah agenda tahunan yang mereka selenggarakan. Acaranya tidak tanggung-tanggung. Makanya melibatkan banyak ibu-ibu Al Uswah yang bermarkas di Masjid Al Muhajirin Jl. Kancil Cikarang Baru.
Nasi dan kue dari 3 mobil box
Paket berbuka yang siap dibagikan


Kegesitan ibu-ibu melayani para tamu menunjukkan keikhlasan hatinya. Tamu-tamu itu terdiri dari lebih 250 anak-anak panti asuhan di Cikarang. Mulai dari desa Sertajaya, Jayamukti, Karang Jati, Jatireja dan lain-lain. Selain para tamu khusus ini, juga diundang seluruh warga Kancil dan sekitarnya. Juga para pedagang yang lewat di sekitar masjid.
Khusyu berdoa pada detik-detik menjelang adzan magrib


Inilah anak-anak yang membacakan murottal Al Quran itu
Acara dimulai jam 4 sore dengan pembacaan murotal juz 30 oleh anak-anak warga Kancil. Mulai dari Surat An Naba, An Naziat, Abasa dan seterusnya. Pembacaan murottal ini dilakukan sambil menunggu kedatangan tamu dari berbagai panti asuhan itu. 


Ustadz Taufiq Suprapto sedang menyampaikan tausiyah
Setelah tamu berdatangan ditampilkan marawis dari remaja Al Muhajirin yang tergabung dalam IRMAS Al Muhajirin. Lalu dilanjutkan dengan tausiyah oleh Ustad Taufiq Suprapto. 

Tampak kegembiraan warga berkumpul berbaur dengan anak-anak dhuafa dan yatim dalam acara ini. Apalagi ketika adzan maghrib dikumandangkan. Kegembiraan itu tampak seperti sabda Rasulullah, bahwa ada dua kebembiraan hambaNya yaitu saat berbuka puasa dan ketika berjumpa dengan Allah di surga-Nya.
Hidangan berbuka 

Ini adalah acara puncak di sela-sela acara ifthar jama’i yang setiap hari juga diselenggarakan di masjid kebanggaan warga Kancil ini.

Semoga Allah mencatat amal kebaikan para panitia dan ibu-ibu Al Uswah yang telah bercapek-capek menghidangkan makanan berbuka ini dan memberi pahala yang berlipat ganda tanpa mengurangi pahala orang yang diberi makanan berbuka.
READ MORE - IFTHAR JAMA'I BERSAMA DU'AFA DAN YATIM DI AL MUHAJIRIN